TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA, SAYA HANYA BISA MEMBERIKAN PENYALURAN YANG SINGKAT DAN SEDERHANA, SEMOGA BERMANFAAT

http;//jimmyamba.blogspot.com/

Rabu, 07 Juli 2010

Laporan Pentagon Ungkap Tumbangnya Era Teror Langit

KANDAHAR (Berita SuaraMedia) – Militer AS sering kali menggembar-gemborkan pesawat tanpa awaknya sebagai barang berteknologi tinggi yang bisa dioperasikan tanpa batasan dari jarak ribuan mil. Tapi, laporan kecelakaan yang dirilis Pentagon baru-baru ini mengungkap bahwa pesawat tanpa awak itu sering mengalami kegagalan sistem, kerusakan komputer, dan faktor kesalahan manusia. Masalah desain dan sistem tidak pernah secara terbuka dipaparkan agar pesawat rapuh tersebut bisa lekas dioperasikan di langit Afghanistan, sesaat setelah terjadi peristiwa 11 September lebih dari delapan tahun yang lalu. Para penyelidik Angkatan Udara terus melaporkan kesalahan pilot, kacau-balaunya koordinasi, kegagalan perangkat lunak, teknologi yang ketinggalan, dan panduan penerbangan yang tidak memadai.
Tercatat ada tiga puluh delapan drone Predator dan Reaper yang pernah mengalami tabrakan dalam misi tempur di Afghanistan dan Irak, sembilan pesawat lainnya bertabrakan saat latih terbang di pangkalan militer AS.
Padahal, masing-masing kecelakaan menelan biaya antara $3,7 juta hingga $5 juta. Jika ditotal, Angkatan Udara mengatakan ada 79 kecelakaan drone yang menelan biaya perbaikan setidaknya $1 juta per pesawat.
Tingkat kecelakaan memang menurun, tapi secara kasar jumlah kecelakaan justru mengalami peningkatan seiring penggunaan pesawat jenis skyrocket, kata para pakar keselamatan Angkatan Udara.
Tapi, mereka menambahkan, tidak ada korban jiwa yang jatuh. Sebagian pakar mengatakan itulah yang menjadi hal terpenting. Bagi mereka, drone adalah barisan depan jenis baru perang yang dikendalikan dari jarak jauh yang meminimalkan risiko bagi personel AS. Jumlah tabrakan tersebut menggambarkan betapa cepatnya pesawat tanpa awak menjadi bagian penting operasi pertempuran AS. Setidaknya ada 38 drone yang diterbangkan di atas Afghanistan dan Irak.
Jam penerbangan drone di atas Afghanistan dan Irak meningkat lebih dari tiga kali lipat antara tahun 2006 dan 2009. Akan tetapi, para komandan lapangan di Afghanistan mengatakan hanya sepertiga permintaan misi drone mereka yang dipenuhi karena kekurangan pesawat dan pilot. Kehilangan pesawat karena tabrakan dan kecelakaan lain bisa menghambat operasi tempur dan membahayakan nyawa pasukan yang bergantung pada drone untuk melakukan pengintaian dan menjadi pelindung dari udara.
Angkatan Udara tahu bahwa drone bersenjata masih belum siap saat pertama kali dioperasikan dalam operasi militer AS melawan Taliban dan Al Qaeda dari Afghanistan. Sebagian besar sistem persenjataan menjalani proses uji coba dan pembenahan selama bertahun-tahun. Drone tidak bersenjata telah diterbangkan sejak pertengahan dekade 1990-an, tapi, drone bersenjata digunakan di medan tempur hanya sembilan bulan setelah diperkenalkan.
Penggunaan drone dipaksakan setelah Predator berhasil meluncurkan peluru kendali anti-tank Hellfire dalam uji coba Naval Air Weapons di Danau China pada Januari 2001.
"(Pesawat) itu sebelumnya tidak pernah dirancang untuk pertempuran," kata Letnan Kolonel Travis Burdine, manajer Penelitian Sistem Pesawat Tanpa Awak Angkatan Udara. "Kami tidak punya kemampuan menyelesaikan beberapa masalah."
Para teknisi membeli perlengkapan di Radio Shack dan Best Buy untuk membangun sebuah sistem yang memungkinkan pasukan darat melihat rekaman video yang diambil drone. Setidaknya satu drone mengalami kecelakaan karena tidak memiliki pengukur bahan bakar, pesawat itu kemudian kehabisan bahan bakar dan jatuh terhempas. Dalam kecelakaan lain, para penyelidik mengatakan ada cacat desain. Tuas "mesin pembunuh" terletak di sebelah tuas untuk menurunkan roda pendaratan, dan seorang pilot yang mengoperasikan drone dari darat keliru menarik tuas.
Bahkan hingga hari ini, pesawat-pesawat tersebut tidak dirancang untuk penggunaan seperti sekarang. Pesawat Predator sepanjang 27 kaki dan Reaper sepanjang 36 kaki dioperasikan degan syarat ada tekanan berat terhadap drone-drone ringan tersebut – dan para operatornya.
"Pesawat-pesawat ini terbang 20.000 jam per bulan, oke?" kata purnawirawan Laksamana Muda Thomas J. Cassidy Jr., presiden kelompok sistem pesawat di General Atomics Aeronautical Systems di San Diego, yang memproduksi pesawat jenis Predator dan Reaper.
"Itu jam terbang yang banyak," kata Cassidy. "Ada beberapa yang ditembak jatuh, sebagian lagi terkendala cuaca buruk, sebagian lainnya (jatuh) karena perbuatan bodoh, terkadang (pesawat-pesawat) itu kehabisan bahan bakar."
Drone-drone tersebut terbang 185.000 jam di atas Afghanistan dan Irak pada 2009, lebih dari sepertiga jam terbang pada 2006. Angkatan Udara memperkirakan jumlah tersebut akan bertambah 300.000 jam tahun ini.
"Angkatan Udara membutuhkan (jam terbang) sebanyak mungkin," kata Kolonel Jeff Kappenman, direktur Center of Excellence if UAS Research, Education and Training di University of North Dakota. "Jumlah permintaan dan kebutuhan mengalami peningkatan."
Para perwira Angkatan Udara mengatakan peningkatan desain dan pelatihan mengurangi tingkat kecelakaan Predator. Menurut mereka, pelajaran yang dipetik dari masalah pada pesawat telah mampu menyelesaikan beberapa masalah pada pesawat Reaper yang berukuran lebih besar dan lebih kuat yang dipergunakan dalam pertempuran sejak tahun 2007. Tingkat kecelakaan per 100.000 jam pesawat Predator turun menjadi 7,5, sementara Reaper mencatatkan 16,4 tahun lalu, menurut data Angkatan Udara. Tingkat kecelakaan Predator bisa dibandingkan dengan pesawat tempur F-16 pada tahapan yang sama, kata AU, da hanya sedikit di bawah angka 8,2 untuk jenis pesawat pribadi kecil bermesin tunggal yang terbang di wilayah udara AS.
Jumlah kecelakaan tersebut masih belum termasuk drone yang diterbangkan CIA di Pakistan, yang tidak mengakui ada program rahasia tersebut. Para pakar independen mengatakan pesawat Predator yang terbang melintasi Pakistan mungkin juga mengalami kendala serupa dengan pesawat tanpa awak yang beroperasi di Afghanistan dan Irak.
Tahun ini, empat pesawat Predator Angkatan Udara telah mengalami kecelakaan, tiga di antaranya celaka di Afghanistan. Tanggal 15 Januari di Afghanistan selatan, satu drone pada saat tinggal landas pada 9 Februari di Afghanistan timur, dan yang ketiga pada 14 Maret di selatan negara tersebut. Semuanya hancur total, kata AU. Pesawat Predator lainnya bertabrakan di California dalam latihan terbang pada 20 April.
Dalam kurun waktu 12 bulan yang berakhir pada 30 September, Angkatan Udara melaporkan ada 16 pesawat Predator dan Reaper yang mengalami kecelakaan. Empat kecelakaan di antaranya terjadi dalam kurun waktu 15 hari pada September. Seorang pilot kehilangan data video pesawat Reaper yang terbang di Afghanistan pada 13 September. Saat pesawat tersebut hendak keluar dari wilayah udara Afghanistan dan mengalami kerusakan, seorang pilot pesawat tempur F-15 diperintahkan menembak jatuh drone tersebut dan pasukan darat mengumpulkan kepingan pesawat agar teknologi drone tidak sampai jatuh ke tangan musuh.
Dalam beberapa kasus, tidak pernah ditentukan penyebab kecelakaan dan tidak ada kepingan pesawat yang bisa diselamatkan. Tanggal 13 Mei 2009, seorang kru di Nevada kehilangan kontak dengan sebuah pesawat Predator, dan pesawat itu dinyatakan "diduga mengalami kecelakaan" di suatu tempat di Afghanistan, menurut laporan AU.
Jenderal purnawirawan Wesley K. Clark, saat ditanya apakah tingkat kecelakaan itu membuatnya khawatir, menjawab: "Tidak juga. (Pesawat-pesawat itu) bisa tergantikan." Namun, sebagian lainnya tidak setuju, mereka mengatakan setiap drone yang jatuh sama saja mengurangi layanan untuk pasukan yang memerlukannya.
"Kita tidak bisa menyamakan (drone) dengan popok sekali pakai dan membuangnya begitu saja," kata Jenderal AU purnawirawan Hal Holburg, mantan kepala Komando Tempur Udara AU.
Kyle Snyder, yang melacak drone militer untuk Unmanned Vehicle Systems International, sebuah lembaga penelitian nirlaba, mengatakan ia belum pernah mendengar siapa pun dalam tubuh AU menyebut drone sebagai benda yang bisa dibuang.
Hasil studi Laboratorium Penelitian Angkatan Udara tahun 2007 menunjukkan bahwa 80 persen kecelakaan melibatkan faktor manusia. Disebutkan mengenai buku panduan yang tidak memadai, kesalahan koordinasi kru, dan kru tak terlatih yang diminta melakukan tugas, menurut analisis AU dan kontraktor swasta.
Setelah sebuah Predator mengalami kecelakaan dalam pendaratan di pangkalan udara Kandahar pada Maret 2007, para penyelidik menyalahkan sistem Predator yang dianggap "kekurangan petunjuk visual" yang membantu pilot memahami posisis terbang pesawat yang jauh dari tempat pengoperasian. Pilot di Nevada salah mengukur ketinggian drone, kata laporan itu.
Predator yang kehabisan bahan bakar di Irak memang mengalami kebocoran, tapi, tidak ada indikator bahan bakar yang bisa memperingatkan pilot, kata seorang peneliti kecelakaan dari AU tahun lalu. Seorang pilot yang berlatih menabrakkan sebuah pesawat Predator karena salah menarik tuas "mesin pembunuh," bukannya roda pendaratan.
Sebagian stasiun pengendali di darat yang ditempati para pilot dan operator kamera, masih menggunakan sistem komputer kuno berbasis teks seperti era 1990-an. Para pilot harus mengetikkan perintah di layar, bukannya tinggal mengklik ikon pada layar.
"Saat mengetik perintah, ada jeda waktu kontrol dengan yang terjadi pada pesawat sesungguhnya," kata Gregg Montijo, seorang kontraktor yang melatih kru drone. "Saat keadaan genting, terkadang para operator mengetik sesuatu, lalu segera mengetik perintah lain dengan amat cepat. Mereka akan menjadi bingung antara komputer dan tampilan yang keliru."
Meski demikian, kata Burdine, pesawat Predator dan Reaper melakukan kinerja yang baik. "Harga yang pantas bagi Angkatan Udara untuk memastikan bahwa sistem pada generasi yang akan datang bisa memetik pelajaran dari generasi pertama," katanya. "Itulah yang kami kerjakan."

Tidak ada komentar:

Prev Prev Prev
 

Lencana Facebook

Page Group